Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat
pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial . Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik
antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan
dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak .
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa
penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang
seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali
bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh hukum bergerak mencari
keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur
hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan
yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya.
Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk
mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan
cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Permasalahan Hukum
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya,
inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya
permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi
penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga,
maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini
sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat,
orang kaya, dan sebagainya).
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun
besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu
peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan
POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang
kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih
tinggi.
Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan
karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.
Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan
putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.
Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis mengelompokkannya
berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu
sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.
1. Tingkat Kekayaan Seseorang
Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara
Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun
penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan
rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan
yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan
cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco,
dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.
Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian
puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa
kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh
dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat
kekayaan tinggi.
Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran,
seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman
kurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah
sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulan Agustus
1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta lebih
dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha,
Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.
2. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh
sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat
memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar
rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan orang
staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala
Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan
ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan
dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik
tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk
mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT
Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini
belum terlaksana.
3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan
hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga
dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer
tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang
didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas
hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.
Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling
tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap
dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak oleh presiden.
Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan
elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini
mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.
4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang menewaskan tiga orang staf
UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid
untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua
ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat.
Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti persenjataan milisi
Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab.
Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh,
Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat.
Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman
dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang
terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan
kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.
Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa
melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut
paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu
korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang
mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana
perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
1. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang
melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang
bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan
penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun
tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia,
bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan.
Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun
demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang
sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang
tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan
penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan
sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan
aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak
pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni
mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.
2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan
pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa
melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan
massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat
menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah
kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan
yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan
anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama.
Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai
dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai
dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik
antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan
diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali, masing-
masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang
melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa.
Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang
melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang
menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub
memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin
dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga
adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah
dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan
seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian
masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang,
hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau
yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi.
4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat membawa berkah bagi pencari
keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya
aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon,
Sambas, dan sebagainya.
Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan
asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa
perburuhan, kadang menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah
Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk
menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman
modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam
proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
Prioritas Penegakan Hukum
Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling
dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi
masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak
mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan
mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri.
Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat
merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan
tumbuh subur di masyarakat Indonesia.
Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap
hukum di Indonesia.
Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat,
baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa
perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam
proses penegakan hukum di Indonesia.
Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya
perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak akan muncul lagi dengan adanya
undang-undang yang lebih tegas. Selain mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam
memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula
peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.
Daftar Pustaka:
o Ali, Achmad., Pengadilan dan Masyarakat, Hasanudin University Press, Ujung Pandang, 1999.
o Doyle, Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.
o Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997
Sumber: Dunia Esai
Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan. Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada.
Dilema Penegakan Hukum di Indonesia
Oleh: Mujahid A.Latief
DALAM sebuah panel diskusi bertajuk "Peluang Peradilan satu Atap dalam Membangun Profesioanlisme dan Integritas Hakim", Satjipto Rahardjo mengatakan perlu adanya rekonseptualisasi makna hukum - apa yang kita maknai hukum (what mean by law). Satjipto Rahardjo menilai dominasi pemahaman hukum yang terjadi saat ini cenderung legalistik - positifistik. Satjipto berkeyakinan bahwa hukum itu not only stated in the book tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat (living law).
Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 harus diakui telah melahirkan sejumlah perubahan instrumental, meski diakui juga bahwa perubahan tersebut masih banyak kelemahannya. Banyaknya kelemahan tersebut karena reformasi tidak punya paradigma dan visi yang jelas alias hanya tambal sulam, contohnya reformasi peradilan yang terwadahi dalam empat paket undang-undang yang berkaitan dengan peradilan hanya lebih banyak memfokuskan pada peradilan satu atap (Beny K. Harman).
Gambaran yang disampaikan oleh Beny K.Harman dan Satjipto tersebut bisa menjadi gambaran bagi kita semua dalam melihat wajah reformasi hukum Indonesia. Benar bahwa saat ini telah banyak aturan hukum yang mendorong kearah reformasi sebagaimana tuntutan masyarakat. Benar bahwa sudah banyak lembaga yang memiliki peran untuk memperbaiki sistem peradilan kita, sebut saja misalnya lahirnya KPK, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Timtastipikor.
Ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak tersangka koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan akhirnya. Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-tidaknya hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan pemahaman fakta hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi hukum apa yang mereka pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik semata yang dipergunakan ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi - adalah deretan pertanyaan publik yang belum ada akhirnya.
Lembaga peradilan sebagai institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Bagaimana seharusnya agenda reformasi hukum khususnya pemberantasan korupsi dilakukan?
Seorang tokoh reformis China yang hidup sekitar abad 11 mengemukakan, ada dua unsur yang selalu muncul dalam pembicaraan masalah korupsi yaitu hukum yang lemah dan manusia yang tidak benar. Tidak mungkin menciptakan aparat yang bersih hanya semata-mata mendasarkan rule of law sebagai kekuatan pengontrol (social control). Ia berkesimpulan dalam memberantas korupsi dibutuhkan penguasa yang punya moral tinggi dan hukum yang rasional serta efisien (Mujahid:2000)
Dalam sejarahnya "upaya" pemberantasan korupsi sudah berlangsung sejak tahun 1958, yakni dengan lahirnya berbagai institusi dan peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk memberantas korupsi, akan tetapi korupsi di Indonesia selalu saja menempati urutan yang tinggi .
Seiring dengan tuntutan reformasi yang tuntutan paling penting adalah reformasi dibidang hukum, yang bermuara pada tuntutan agar pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mewabah di Indonesia dapat dilakukan. Puncak dari tuntutan tersebut melahirkan instrumen hukum dalam rangka memberantas korupsi yang terlihat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tap MPR tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya dan terakhir adalah lahirnya UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai instrumen hukum lain yang diarahkan untuk penegakan hukum.
Harus diakui kenyataannya sampai saat ini berbagai instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) - penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa dalam bingkai due process of law, tidak dilakukan dengan cara konvensional.
Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya mendasarkan instrumen hukum yang ada, akan tetapi harus didukung oleh kemauan politik yang kuat dari semua cabang kekuasaan Negara (eksekeutif, legislatife dan yudikatif). Tidak dapat dipungkiri korupsi terjadi berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik seperti ungkapan Lord Acton power tend to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely.
Dengan adanya intstrumen hukum yang sudah memadai saat ini, mestinya pemberantasaan KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya sangat tergantung pada political will. Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan politik dan penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan keberanian. Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas ujungnya tidak saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan masyarakat. Karena itu setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi, meminjam intilah Satjipto ketika seorang aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak boleh datang dengan netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk memberantas korupsi. Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh kepastian dan keadilan bagi masyarakat. ***
*) Penulis: Alumni Pascasarjana Fakultas Hukum UI (Koordinator Program Komisi Hukum Nasional.
artikel pernah dimuat di Kaltim Pos, Rabu, 28 September 2005 dan dapat diakses dihttp://www.kaltimpost.web.id
Rabu, 02 Maret 2011
0 komentar:
Posting Komentar