Rabu, 02 Maret 2011

HAM D indonesia

Perlindungan HAM di Indonesia dan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
(Paper disampaikan dalam “Seminar Hak Asasi Manusia” yang diselenggarakan oleh PAKORBA di Solo, 5 November 2002)


Pengantar: Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia

Pada tanggal 23 September 1999, telah disahkan UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai bentuk realisasi dari Tap MPR no. XVII tahun 1998. Undang-undang ini memuat sebuah daftar panjang hak-hak asasi manusia yang diakui dan wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara Indonesia.

UU ini mengakui hak untuk hidup (pasal 9), hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan (pasal 10), hak untuk mengembangkan diri (pasal 11-16), hak untuk memperoleh keadilan (pasal 17-19), hak atas kebebasan pribadi (pasal 20-27), hak atas rasa aman (pasal 28-35), hak atas kesejahteraan (pasal 36-42), hak untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 43-44), hak-hak perempuan (pasal 45-51), dan hak-hak anak (pasal 52-66). Selain menjamin hak-hak tersebut, UU ini juga menegaskan adanya tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang mendasar dari pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak-hak asasi manusia tersebut.

Patut dicatat bahwa termasuk dalam “hak untuk memperoleh keadilan” sebuah aturan yang melarang seseorang diproses pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana berdasarkan peraturan perundangan yang belum dibuat saat tindak pidana dilakukan (lihat pasal 18 ayat 2 dan juga pasal 4). Ini berarti seseorang tidak dapat dihukum atas dasar hukum yang berlaku surut. Namun, dalam Penjelasan atas pasal 4 UU tersebut, dinyatakan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”. Selain itu, UU ini juga menegaskan bahwa “ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi bagian hukum nasional” (pasal 7 ayat 2).

Bagian lain dari UU no.39 tahun 1999 ini mengatur tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai sebuah lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas, otoritas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan penyelidikan, kampanye, pamantauan, dan mediasi kasus-kasus atau isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia. UU ini juga memungkinkan masyarakat untuk membuat dan mengajukan komplain atau pengaduan serta penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia; serta menyumbang rekomendasi mengenai kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM.

UU no.39 tahun 1999 ini sekaligus juga memperkuat kewenangan Komnas HAM yang sebelumnya diatur melalui Keppres no.50 tahun 1993. Penguatan ini terutama terletak pada kewenangan untuk memantau dan melaporkan kepada publik adanya pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling penting, dalam fungsi penyelidikannya, Komnas HAM dibekali dengan kewenangan subpoena dalam menangani kasus-kasus hak asasi manusia. Ini berarti berdasarkan UU no.39 tahun 1999 Komnas HAM mempunyai kekuasaan secara hukum untuk memanggil secara paksa para saksi, baik dari pihak pengadu maupun pihak yang diadukan (Lihat pasal 89 ayat 3(c) dan (d), serta pasal 95). Kewenangan inilah yang kemudian digunakan untuk memanggil para perwira tinggi militer untuk memberikan keterangan berkaitan dengan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur kepada KPP HAM.

Undang-undang ini juga memberi Komnas HAM wewenang untuk merujukkan kasus kepada lembaga pengadilan. Meskipun dalam undang-undang ini mediasi ditetapkan sebagai metode penyelesaian kasus atau pengaduan yang harus diutamakan, paling tidak ada aturan yang membolehkan satu pihak yang bertikai mengajukan kasus ke pengadilan jika pihak lainnya tidak melaksanakan perjanjian mediasi sebagaimana mestinya.

Komnas HAM diberi waktu dua tahun sejak disahkannya undang-undang ini pada September 1999 untuk melakukan perubahan-perubahan sebagaimana dimandatkan oleh UU no.39 tahun 1999, termasuk terhadap struktur organisasi, keanggotaan, penugasan, tanggung jawab, dan kebijakan internalnya.

Jika dilihat dari sudut pandang yang optimistik, disahkannya Undang-undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM merupakan sebuah langkah positif. Selain mengandung beberapa wewenang penting dalam penerapan hukum yang paling tidak diharapkan akan dapat mendongkrak kredibilitas Komnas HAM di mata publik, Undang-undang ini juga memberikan Komnas HAM anggaran yang terpisah dari anggaran Sekretariat Negara seperti yang diatur sebelumnya, yang secara teoritik akan memberikan independensi yang lebih kepada Komnas HAM, meskipun dalam prakteknya masih ada beberapa “perjanjian idiosinkratis” yang tidak beranjak dari tempatnya.

Jika diperhatikan lebih mendalam, sebetulnya masih ada lagi beberapa “kelemahan” yang perlu untuk di amandemen. Misalnya saja, UU ini tidak memberi Komnas HAM wewenang untuk bekerja di bidang hak orang-orang cacat. Mandat Komnas HAM hanya tercantum pada bab khusus mengenai Komnas HAM dan tidak terkonsentrasi pada pasal-pasal tentang hak-hak dasar. Kekurangan-kekurangan lain adalah yang berkaitan dengan klasifikasi hak-hak asasi manusia yang kurang sesuai atau tidak mengikuti standar internasional, seperti misalnya yang tersusun dalam Human Rights Documentation System (HURIDOCS).


UU no.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Selain berisi daftar tentang hak-hak asasi manusia dan mengatur mengenai Komnas HAM, UU no.39 tahun 1999 juga memandatkan pembentukan sebuah pengadilan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak disahkannya undang-undang tersebut untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia (Lihat pasal 104). Yang dimaksud dengan “pelanggaran berat hak asasi manusia oleh undang-undang ini meliputi pembunuhan masal (genocide), pembunuhan yang sewenang-wenang dan eksekusi di luar pengadilan (arbitrary or extra-judicial killing), penyiksaan, penghilangan paksa, perbudakan, dan diskriminasi yang sistematik (Lihat Penjelasan UU no.39 tahun 1999 pasal 104).

Mandat tersebut di atas direalisasikan dengan dikeluarkannya UU no.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh DPR pada tanggal 6 Nopember 2000, yang di dalamnya mencantumkan ketentuan untuk penerapan hukum secara retrospektif. UU Pengadilan HAM menyediakan dasar teknis dalam mendirikan pengadilan HAM, sedangkan UU no 39/1999 tentang HAM mengemukakan prinsip-prinsip dan bentuk HAM yang diakui oleh hukum Indonesia

UU no.26/2000 ini memuat ketentuan tentang pembentukan pengadilan HAM khusus (ad hoc) untuk mengadili pelanggaran HAM di masa lalu yang terjadi sebelum undang-undang berlaku sedangkan pengadilan HAM permanen hanya menangani kejahatan yang terjadi terjadi setelah pengesahan UU tersebut. Namun, pengadilan ad hoc seperti itu hanya didirikan untuk mengadili kasus khusus dan dibentuk melalui prosedur yang khusus pula. Presiden hanya dapat mendirikan pengadilan ad hoc seperti ini jika ada rekomendasi eksplisit dari DPR (ayat 43). Sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai teknis “pemberian rekomendasi” ini, yang menyebabkan proses pembentukan pengadilan menjadi sebuah proses politiuk ketimbang sebuah proses hukum.

Masalah yang kemudian muncul adalah sampai sejauh mana pengadilan HAM dapat memenuhi tuntutan dan harapan dari aktivis pembela HAM dan korban pelanggaran HAM di rezim Soeharto. Hal menjadi pertanyaan besar, apalagi jika melihat adanya tarik ulur politik yang terjadi selama penyusunan UU ini. Ketika UU Pengadilan HAM diajukan ke DPR pada bulan Juni 2000, praktek retroaktif dikritik khususnya oleh militer dan wakil-wakil Golkar yang sebagian besar berhubungan dengan rezim orde baru Soeharto. DPR juga telah beberapa kali menunda perdebatan tentang rancangan UU tersebut.

Selain itu, ada tiga masalah utama yang muncul bersamaan dengan UU tersebut selain masalah retroaktivitas: cakupan kejahatan yang dapat diproses oleh pengadilan ini, jaminan ketidakberpihakan (guarantee of impartiality), dan jaminan kemandirian (guarantee of independence).

Pelanggaran HAM Berat dalam UU ini sebagaimana tercantum dalam pasal 7 hanya meliputi dua macam kejahatan yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Implikasinya, Para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin sedikit karena kejahatan yang dapat diadili oleh Pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, padahal diluar dua jenis kejahatan tersebut yang merupakan kejahatan terhadap masyarakat Internasional (delicta juris gentium) tidak ter-cover di dalam UU ini. Oleh karena itu Pengadilan HAM ini tidak akan dapat melaksanakan efective remedy bagi korban pelanggaran HAM. Sementara itu, pengertian “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam pasal 9 UU ini juga sumir karena tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidak jelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatan-kejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit.

Persyaratan pengangkatan para hakim dan jaksa ad hoc untuk keperluan pengadilan HAM juga mempunyai implikasi yang serius berkaitan dengan jaminan ketidakberpihakan (guarantee of impartiality) dan jaminan kemandirian (guarantee of independence). Hal ini terjadi karena Kemungkinan masuknya penuntut umum non karier di luar kejaksaan dan oditur militer, sangat kecil kecuali bagi para pensiunannya Karena dibatasi oleh syarat bahwa calon Jaksa ad hoc harus berpengalaman sebagai penuntut umum di pengadilan. Bahasa yang digunakan dalam pasal 23 yang mengatur mengenai hal ini juga berimplikasi bahwa penuntut ad hoc yang berasal dari unsur pemerintah dan atau masyarakat bersifat pelengkap bukan suatu hal yang wajib. Masalah umur juga akan menhambat masuknya calon PU yang berkompeten karena dibatasi oleh umur sekurang-kurangnya 40 Tahun. Kemungkinan orang (berkompeten) yang ingin menjadi hakim ad hoc menjadi semakin kecil karena masa jabatan hakim yang lama (5 tahun), dan kemudian terikat dengan Keppres Nomor 13 Tahun 1993 yang mensyaratkan bahwa seorang hakim diperbolehkan untuk merangkap pekerjaanya hanya sebagai tenaga pengajar. Ini berarti hanya kalangan akademis dan pensiunan saja yang bisa mendaftarkan diri untuk menjadi hakim ad hoc.

Penempatan pengadilan HAM didalam lingkungan peradilan umum menjadikannya sangat bergantung pada mekanisme birokrasi dan administrasi peradilan umum yang ditempatinya. Ini juga berarti posisi politik pengadilan HAM akan dipengaruhi oleh Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman dan HAM. Secara teoretis, hal ini akan berpengaruh pada independensi pengadilan HAM. Selain itu, UU no.26 tahun 2000 ini tidak dilengkapi dengan hukum acara yang memadai untuk menyidangkan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), serta tidak dilengkapi dengan aturan perundangan mengenai perlindungan saksi dan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang dapat dioperasionalisasikan dengan efektif.


Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu Melalui Pengadilan

Mekanisme pengadilan seringkali dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran HAM di dalamnya. Jika sebuah sistem pengadilan dapat berjalan dengan adil, independen dan kompeten. Selain itu vonis dan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan diharapkan dapat menimbulkan efek jera (detterent effect) yang dapat mencegah terulangnya kembali kejadian serupa di masa mendatang, paling tidak oleh pelaku yang sama.

Kemampuan untuk menjatuhkan suatu vonis bersalah serta menetapkan hukuman membuat pengadilan dapat melaksanakan tiga fungsi publik. Pertama, adalah untuk menjamin retributive justice. Walaupun retributive justice hanya satu dari berbagai aspek keadilan, namun tak urung banyak orang merasa bahwa hukuman bagi pihak yang bersalah –yang tidak berpengaruh langsung kepada korban-- sudah merupakan bagian dari keadilan. Kedua, hukuman-hukuman dan vonis pidana dapat membantu mengatasi impunity serta menghentikan suatu pola yang terjadi di rezim-rezim otoriter dimana aparat negara, anggota-anggota militer dan polisi dapat melakukan tindakan yang bersifat kriminal dan mereka tidak akan pernah dituntut atau dihukum. Ketiga, dengan menghancurkan “mitos” dan persepsi impunity, pengadilan pidana dapat membantu membangun supremasi hukum karena menegaskan bahwa tidak seorangpun, walaupun dia berkuasa sebagai pemimpin negara, berada di atas hukum dan tidak dapat dihukum.

Pada waktu yang bersamaan haruslah disadari bahwa ada beberapa batasan-batasan penting dalam penerapan pengadilan pidana dan konsekuensinya. Terdapat beberapa alasan untuk itu. Pengadilan pidana pelanggaran HAM di masa lalu cenderung merupakan sesuatu yang harus membutuhkan biaya yang sangat mahal karena membutuhkan penyelidik, penuntut dan hakim yang profesional. Hal ini penting mengingat bahwa dalam sebuah diktator atau pemerintahan yang represif, pengadilan sering dibiarkan dengan tidak efektif: hakim-hakim secara politis diajak bekerjasama atau korup, sementara hakim-hakim yang baru ditunjuk serta jaksa-jaksa kekurangan tenaga ahli dan sumber daya.

Sejarah di berbagai negara telah menujukkan bahwa pada umumnya relatif hanya sejumlah kecil kasus dapat diajukan ke pengadilan. Contohnya, diperkirakan terdapat lebih dari 14.000 kasus penghilangan paksa di Indonesia. Tidak akan cukup baik secara finansial, fisik dan sumber daya manusia untuk menyidangkan 14.000 kasus dalam waktu yang relatif singkat, belum lagi memperhitungkan proses rehabilitasi dan/atau kompensasi bagi korban. Ini belum termasuk pelanggaran HAM jenis lainnya, seperti eksekusi tanpa proses peradilan, penyiksaan, kejahatan terhadap kemanusiaan, pemerkosaan sistematis, dan sebagainya.

Terkadang kejahatan-kejahatan yang diajukan telah terjadi bertahun-tahun yang lalu dan ini menjadi lebih sulit untuk dibuktikan, karena bukti telah hilang, ingatan para saksi sudah tidak lengkap atau segar, dan banyak dari para saksi serta pelaku-pelakunya telah meninggal dunia. Selain itu, para pelaku kejahatan HAM seringkali menutupi bukti dari kejahatan-kejahatan tersebut, menghancurkan dokumen-dokumen, atau memberikan perintah secara tidak tertulis, serta hanya melakukan apa yang diperintahkan secara lisan, atau mengintimidasi atau membunuh saksi-saksi agar timbul masalah dalam proses pembuktian selama persidangan. Ini merupakan suatu usaha mencapai keadilan yang sulit dicapai, terlebih di Indonesia, dimana barang bukti yang bersifat hard-evidence dan saksi langsung lebih dari satu orang disyaratkan oleh hukum (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, KUHAP) terhadap kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan.

Persidangan juga cenderung menjadi mahal dan memakan waktu lama karena guna mencapai tujuannya yakni salah satunya mendemonstrasikan pentingnya supremasi hukum, maka persidangan itu harus mengikuti proses hukum (due process of law) yang sesuai dengan standar internasional, khususnya ketika menyidangkan orang-orang sebelumnya termasuk dalam “kelas” penguasa. Dalam konteks Indonesia, harus disadari bahwa sumber daya yang diperlukan tidak hanya dalam hal ada atau tidaknya dana yang cukup, melainkan juga dalam hal kemauan politis (political will) serta kebutuhan akan penuntut dan penyelidik yang terlatih, cekatan dan berpengalaman untuk membuktikan kasus-kasus ini. Ini juga berarti lebih banyak dana harus dialokasikan dari anggaran negara bagi tujuan reformasi hukum.

Terakhir, terdapat sebuah realita politis yang nampaknya juga terdapat pada pengalaman sebagian besar negara yang melalui transisi demokratis, yaitu bahwa hanya terdapat kesempatan yang secara relatif sangat singkat untuk mengajukan tuntutan akan kejahatan-kejahatan yang telah lalu. Terlebih lagi, terdapat konsekuensi-konsekuensi sebagai akibat dari persidangan atau pengadilan pidana yang berakhir dengan salah satu diantara pilihan berikut: Jika terlalu lama waktu yang lewat dan belum ada sebuah tuntutan pun yang diajukan ke pengadilan atau diselesaikan, publik cenderung menjadi lelah untuk berfokus pada masa lampau dan kemauan politisnya berkurang untuk mendukung tuntutan yang diajukan.

Atas dasar semua alasan ini, dapat disimpulkan sementara bahwa penuntutan-persidangan-penghukuman penting demi keadilan, untuk membangun supremasi hukum dan konsolidasi transisi demokratik, sementara pada waktu yang bersamaan, harus disadari bahwa terdapat batasan-batasan dimana dapat menyebabkan sangat sedikit sukses yang dapat diraih melalui pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, seperti pengalaman di sebagian besar negara-negara di dunia.


Simpulan

Pengadilan dinilai banyak praktisi legal sebagai hal yang penting untuk menunjukkan supremasi nilai-nilai dan norma-norma demokrasi agar kepercayaan rakyat dapat diraih. Kegagalan mengadili, dapat menyebabkan dapat menimbulkan sinisme dan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem politik. Beberapa analis percaya bahwa pengadilan dapat meningkatkan konsolidasi demokrasi jangka panjang. Salah satu argumennya yaitu bahwa jika tidak ada kejahatan yang diselidiki dan diadili, maka tidak akan tumbuh rasa percaya maupun norma demokrasi dalam masyarakat sehingga tidak akan ada pula konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya.

Dari sini, muncul pendapat bahwa proses legal, dalam hal ini adalah membawa para pelaku kejahatan masa lalu ke pengadilan, selama dan setelah pemerintahan transisi amat penting karena proses ini mempunyai peran besar dalam upaya menghilangkan praktek kekebalan hukum atau impunity maupun “perlakuan istimewa” lain yang sebelumnya selalu dinikmati oleh para pemimpin negara dan aparat negara tingkat tinggi yang melanggar HAM di masa lalu. Menurut argumen di atas, pengadilan sebagai proses legal untuk mengakhiri praktek “impunity” telah menjadi syarat utama demi keberhasilan dalam menjunjung tinggi keadilan di masa yang akan datang.

Namun perlu dicatat bahwa di Indonesia terdapat situasi-situasi politik yang rumit serta tidak pasti, pelanggaran HAM berat di masa lalu (baik itu di masa lalu yang baru saja terjadi maupun yang telah lama berlalu) yang bersifat sangat massive, dan suatu sistem dan praktek penegakan hukum yang relatif lemah.

Pengadilan HAM di Indonesia yang dibentuk oleh UU no.26 tahun 2000, sama sekali bukan ditujukan untuk mengungkap fakta pelanggaran yang terjadi, apalagi untuk meluruskan sejarah. Pengadilan ini “hanya” didesain untuk membuktikan apakah mereka yang diduga paling bertanggung jawab terhadap sebuah kejahatan kemanusiaan atau genosida benar-benar paling bertanggung jawab atau tidak. Kebenaran yang ingin dibuktikan oleh sebuah pengadilan adalah kebenaran material, yang dibatasi oleh prosedur-prosedur pembuktian sebagaimana diatur oleh KUHAP.

Belajar dari proses pengadilan ad hoc untuk kasus Timor Timur, dimana sebagian besar terdakwa akhirnya diputuskan bebas karena tidak terbukti kesalahannya di pengadilan, serta due process of law dari pengadilan tersebut yang berada di bawah standar, bahkan untuk sebuah pengadilan pidana sekalipun, serta banyaknya kelemahan-kelemahan hukum (legal loopholes) dari UU no.26 tahun 2000 sebagai instrumen pembentuk pengadilan HAM, maka bangsa Indonesia membutuhkan mekanisme selain pengadilan HAM untuk mengungkapkan dan menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Dan belajar dari pengalaman bernegara selama ini, penyelesaian masalah bangsa tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, karena seringkali hasilnya di luar harapan masyarakat banyak. Artinya, masyarakat harus bisa menawarkan sebuah bentuk penyelesaian masalah tersebut.

Jakarta, 1 November 2002.

posted at Saturday, November 30, 2002, 5:25 PM by agung yudha

0 komentar: